Salah satu kebahagiaan seorang penulis ialah ketika karyanya terpajang di rak toko buku dan di media-media online. Dan lebih bahagia lagi ketika melihat bukunya dibaca oleh orang lain. Dan yang paling bahagia lagi ketika pembacanya, menyampaikan terima kasih, secara langsung tentang manfaat yang diperoleh dari bukunya.
Seorang sahabat pernah bertanya, “Apakah seorang penulis berdaulat secara ekonomi, menjadi seorang rupiawan?” Menjawab pertanyaan ini, saya mengadopsi dari para ulama bahwa “Menulis itu jalan cinta” Menulis itu perilaku yang bertujuan untuk memberi kebermanfaatan bagi pembacanya. Kalau pun ada istilah materi itu adalah perihal lain.
Bagi penulis, melahirkan karya adalah suatu kebahagian tersendiri, ini adalah jalan cintanya, jalan hidupnya, karena hobinya. Menempuh jalan kepenulisan, harus bersiap hidup minimalis. Penulis itu harus siap dan terbiasa menghadapi tantangan kontinue. Penulis harus mampu menumbangkan rasa malas. Penulis harus bisa menikam rasa kantuk. Dan penulis harus terbiasa berimajinasi, menganilis secara dalam, kuat, dan akurat.
Penulis juga sewaktu-waktu harus siap patah hati berkali-kali, karena tak dilirik pujaan hati sebab profesi menulis tidak menjanjikan masa depan instan.Terpaksa seorang penulis harus kembali ke dalam zona kesunyiannya, sebuah jalan hidup yang tidak bisa diuniversalkan. profesi menulis tidak hanya bermodal kata-kata, pandai menyusun diksi, sintaksis yang tepat, semantik yang akurat, serta lingusitik yang cermat. Namun Ia harus rutin membaca, memupuk, mengecambah pengetahuan, agar wawasannya tumbuh subur.
Buku adalah organisme yang hidup. Maka seorang penulis harus dan mutlak mencintai buku-buku, dan merawat rutinitas membaca, memahami dan menganalisis agar buku karyanya memiliki roh yang menghidupkan, bukan sekadar karya tumpukan bangkai kata.
Dan penulis lazimnya selalu menyambungkan imajinasinya kepada Sang pencipta dengan mensucikan hati dan anggota badannya dari sesuatu yang tidak disukai-Nya. Penulis yang hebat akan selalu memohon petunjuk kepada sang mahakuat, sang mahacermat dalam setiap tulisan yang ditulisnya.
Dan biasanya seorang penulis lebih suka menyendiri, menyepi. Dia lebih suka berduaan dengan imajinasi, berduaan dengan pemilik hati, dan berzikir kehadirat ilahi rabbi untuk memusatkan kosentrasi.