Pak Zaed adalah sosok guru yang luar biasa dan sepertinya tiada duanya. Setiap pagi, sebelum bel sekolah berbunyi, ia sudah berdiri di depan pintu gerbang. Senyumnya selalu terpancar, meski tubuhnya yang mulai dimakan usia kerap terasa lelah. Usianya sudah kepala lima, dua tahun lagi ia akan pensiun, namun semangatnya dalam mendidik tak pernah surut.
Anak-anak yang datang pagi itu disambut dengan ucapan selamat pagi dari Pak Zaed, dengan senyum yang selalu sama hangatnya. Tak satu pun siswa yang luput dari perhatiannya. Dia selalu mengenali wajah setiap murid, bahkan hingga nama-nama mereka. Baginya, mendidik bukan hanya tentang mengajarkan ilmu, tapi juga memberi perhatian dan kasih sayang. Pak zaed pun mengenali karakter dan memerhatikan hobi, minat anak didiknya.
Setelah menyambut para siswa, Pak Zaed berjalan mengitari lapangan dan lingkungan sekolah, memastikan semuanya baik-baik saja. Pandangannya tajam, memperhatikan gerak-gerik siswa-siswinya. Jika ada yang terlihat murung atau kurang bersemangat, ia tak segan-segan mendekat, menanyakan kabar, dan memberikan semangat. Pak Zaed tahu bahwa untuk mendidik, ia tak hanya harus memahami kurikulum terbaru, tetapi juga memahami kondisi batin jiwa anak-anak didiknya.
Saat bel pulang berbunyi, bukan berarti tugas Pak Zaed selesai. Ketika guru-guru lain mulai beranjak pulang, Pak Zaed berkeliling ke setiap kelas. Ia memeriksa, memastikan tidak ada satu pun siswanya yang tertinggal. Tak jarang, ia menemukan ada siswa yang masih tertidur di bangku, main HP atau yang sengaja menunggu orang tua menjemput. Pak Zaed dengan sabar menemani mereka. “Hati-hati di jalan ya,” ucapnya lembut, setiap kali salah satu dari mereka akhirnya dijemput. Pak Zaed tak pernah pulang sebelum anak-anak meninggalkan sekolahnya.
Kebiasaan datang awal dan pulang belakangan sudah menjadi bagian hidupnya sejak baru menjadi guru di usia lajang. Ia mencintai profesinya dengan sepenuh hati, dan menganggap setiap anak yang ia didik adalah tanggung jawabnya, bahkan setelah mereka lulus. Sudah tak terhitung jumlah siswa yang sukses berkat didikan dan perhatian Pak Zaed. Ada yang menjadi dokter, polisi, brimob, arsitek, pengusaha, bahkan pejabat negara. Namun, meski banyak dari mereka yang telah meraih kesuksesan besar, Pak Zaed tetap sama—sederhana dan penuh perhatian.
Setiap libur sekolah dan momen lebaran, rumah Pak Zaed ramai dikunjungi alumni muridnya, layaknya reuni di rumahnya. Mereka datang membawa berbagai oleh-oleh, sekadar ingin berjumpa dan kangen dengan nasihatnya, ada pula yang menyampaikan terima kasih pada sosok yang telah berperan besar dalam hidup mereka. Di tengah obrolan hangat di ruang tamu, Pak Zaed selalu tersenyum haru, mengingat kembali masa-masa ketika mereka masih pelajar, belajar di bawah bimbingannya.
Salah satu mantan muridnya, kini seorang dokter spesialis yang sukses mendidirikan rumah sakit swasta terkemuka di kotanya, pernah berkata, “Tanpa Pak Zaed, saya mungkin tak akan pernah punya keberanian untuk mengejar cita-cita.” Pak Zaed hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca. Baginya, keberhasilan para murid adalah hadiah terbaik yang pernah ia terima.
Kini, dengan dua tahun tersisa sebelum pensiun, Pak Zaed terus menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi. Meski tubuhnya semakin renta, hatinya masih kuat, sekuat cinta yang ia berikan untuk setiap anak didiknya. Pak Zaed tak pernah mengharapkan imbalan apapun. Baginya, melihat anak-anaknya berhasil sudah lebih dari cukup.