Tidak ada sekolah yang sepi dari anak yang malas, anak yang nakal , anak yang suka iseng, susah diatur. dan anak-anak kategori lainnya. Hampir dipastikan anak anak tersebut pasti ada di setiap sekolah. Karena mereka sudah memiliki kodratnya masing-masing. Guru tidak bisa mengubah kodrat bawaan mereka. Guru hanya sebagai pembimbing yang membersamai mereka dalam mencetak kepribadian yang baik.
Adanya anak yang terlambat datang di sekolah, anak yang berseragam tidak sesuai, atau atributnya tidak lengkap, anak yang bajunya suka dikeluarkan, anak yang suka iseng ngumpetin barang milik temannya, bahkan anak yang berani merokok di lingkungan sekolah. Itu semua adalah fenomena cerminan kepribadian yang butuh diperhatikan.Mereka hanya butuh dibimbing, dirawat, bukan dihukum.
Berangkat dari hal tersebut, ketika sekolah ingin menciptakan budaya positif maka proses hukuman, konsekuensi, sanksi, penghargaan bukanlah cara yang pas, karena hanya bersifat sementara bahkan bisa menyebabkan muncul rasa dendam atau hal-hal negatiif dari si murid. Maka perlu mencari cara agar budaya positif dapat diterima secara terbuka,menyentuh perasaan mereka. Ketika seorang guru sudah bisa menyentuh hati nurani murid dengan cara mengidentifikasi, memahami kebutuhan apa yang mereka inginkan dan menunjukan rasa kepedulian mengenai hal tersebut maka siswa akan dengan mudah memahami disiplin positif yang ingin diterapkan padanya.
Namun, untuk bisa mencapai tahap tersebut tentu guru perlu melakukan kolaborasi dengan siswa dalam hal menciptakan disiplin positif apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan rapat sekolah mengenai kebutuhan dan keinginan mereka, Libatkan mereka dalam membuat kesepakatan sekolah.
Dengan mengajak siswa secara langsung mengungkapkan keinginan mereka maka kita sudah membangkitkan motivasi intrinsik terhadap mereka bahwa disiplin positif atau keyakinan yang mereka buat bukan untuk orang lain melainkan untuk mereka sendiri.
Hal yang dijabarkan di atas sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di sekolah selama ini.Sebagian guru ternyata mengalami kegagalan paham yang diyakini sebagai suatu kebenaran selama ini, misalnya saja menganggap suatu kedisiplinan itu merupakan tata tertib atau cara agar siswa untuk mengikuti peraturan yang telah dibuat sekolah. Ini sama halnya sekolah memaksa siswa untuk disiplin tanpa memberikan edukasi atau pemahaman kepada mereka mengapa hal tersebut harus mereka patuhi.
Pemaksaan yang selama ini sering dilakukan bisa dalam wujud pemberian hukuman (penghukum), pemberian konsekuensi (poin, sanksi) yang dibarengi dengan menimbulkan perasaan bersalah pada siswa, ataupun pemberian hadiah dengan pendekatan sebagai orang yang bersahabat dengan siswa.
Atau mengarahkan pikiran siswa bahwa siswa tersebut salah tanpa memberikan kesempatan kepadanya untuk menemukan sendiri kesalahan mereka, mengemukakan alasan ataupun keyakinan yang mereka langgar. Padahal pemaksaan tersebut bukanlah suatu tindakan yang tepat dilakukan karena pada dasarnya kita tidak dapat mengontrol pikiran atau perbuatan seseorang.
Jikapun kita merasa bahwa perbuatan tersebut berhasil sejatinya bukan tindakan kita yang berhasil melainkan siswa sedang mengizinkan hal tersebut terjadi karena alasan-alasan tertentu.Entah karena takut, tertekan, terpaksa atau karena hal lain yang pasti ada motivasi dari luar yang membuat siswa mau mengikuti pemaksaan tersebut.
Sayangnya, hal tersebut juga tidak berlangsung lama, ketika siswa melakukan sesuatu bukan karena didasari keinginan sendiri atau keyakinan dari dalam diri sehingga tidak terbangun pondasi yang kuat dari dalam dirinya.Ketika alasan siswa menerima pemaksaan atau motivasi dari luar tersebut menghilang maka siswa akan kembali ke perilaku sebelumnya.
Lalu adakah cara lain yang lebih baik yang dapat menyentuh hati nurani siswa? Jawabannya dengan menerapkan segitiga restitusi!.
Restitusi adalah sebuah cara untuk menanamkan disiplin positif pada siswa tanpa menghakimi melainkan dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa secara bebas untuk memperbaiki kesalahan mereka dengan cara dan kesadaran mereka sendiri.
Pada restitusi, guru berperan sebagai pembimbing yang membimbing siswa melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan kesalahan, menggali alasan dan memahami keyakinan apa yang mereka langgar sehingga harapan akhirnya siswa dapat menyadari kesalahannya sendiri.Belajar dari kesalahan tersebut hingga akhirnya mereka menyadari suatu nilai keyakinan yang melekat dan memperkuat karakter siswa.
Untuk dapat menerapkan segitiga restitusi secara maksimal maka guru pun harus mengubah paradigma yang selama ini terjadi sekolah. Jika awalnya kita membuat peraturan yang kita anggap sebagai budaya positif hanya satu pihak saja tanpa melibatkan siswa maka mulai dari sekarang kita harus melibatkan siswa.
Libatkan mereka untuk memberikan ide-ide mengenai budaya positif, disiplin positif, keyakinan apa yang mereka butuhkan dan inginkan agar muncul rasa memiliki dan tanggung jawab untuk menjalani apa yang kehendaki.
Mengapa hal ini penting dilakukan? Agar ketika menerapkan restitusi kita hanya tinggal menggali dan mengingatkan kembali saja mengenai apa yang mereka tuliskan, keyakinan apa yang mereka langgar sehingga motivasi dari dalam dirinya mudah dimunculkan.
Berikut ini link tabel restitusi