Di balik sorot kamera dan tepuk tangan meriah, tersembunyi sebuah rahasia kelam yang terus menghantuiku. Sebagai seorang guru yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan, aku telah membangun citra diri sebagai sosok pendidik yang ideal, kompeten, dan penuh dedikasi. Lebih dari empat puluh topik PMM aksi nyataku telah lolos validasi dan diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namaku bahkan menjadi rujukan bagi guru-guru lain dari berbagai daerah yang ingin belajar dariku. Aku kerap menjadi pemateri di kegiatan tertentu. Aku juga penulis. Beberapa karya tulis ilmiahku sudah terpublis tingkat nasional bahkan internasional. Beberapa buku pembelajaran sudah diterbitkan dan bisa diakses bagi para guru dan siswa yang membutuhkan.Buku fiksi non fiksi, monograf, prosiding, paper, artikel,jurnal dan sebagainya.
Namun, di balik topeng kesempurnaan itu, tersimpan sebuah kebenaran pahit yang hanya aku sendiri yang tahu. Aku telah membohongi publik. Aku telah menyajikan sebuah pertunjukan yang sempurna tentang bagaimana seharusnya seorang guru ideal, padahal dalam realitasnya, aku jauh dari kata sempurna.
Aku sering merasa terjebak dalam peran yang telah kubangun sendiri. Tekanan untuk selalu tampil sempurna, menjadi contoh bagi guru lain, dan menghasilkan inovasi demi inovasi, membuatku merasa terasing dari diriku sendiri. Aku harus terus berpura-pura menjadi seorang guru yang selalu hadir untuk muridnya, padahal kenyataannya aku sering absen dari kelas karena urusan pribadi.
Aku seringkali merasa bersalah ketika melihat antusiasme para guru yang datang belajar kepadaku. Aku khawatir mereka akan kecewa ketika mengetahui bahwa apa yang mereka lihat hanyalah sebuah kamuflase. Aku merasa seperti seorang penipu yang telah mencuri kepercayaan mereka. Aku sadar bahwa apa yang telah kulakukan adalah sebuah pengkhianatan terhadap profesi guru. Aku telah mengecewakan banyak orang, terutama para siswa yang menjadi tanggung jawabku. Sebagai seorang guru, aku seharusnya menjadi teladan bagi mereka, namun aku justru memberikan contoh yang buruk. Aku sering terlambat, aku sering tinggalkan kelas. Sesungguhnya aku tahu bahwa tugas pokok tertinggi seorang guru adalah stay di sekolah, membersamai para murid sejak datang hingga pulang. Bukan malah sebaliknya diriku sering meninggalkan mereka lantaran urusan pribadi.
Dalam mengajar di kelas, metodeku monoton, membosankan, dan sepertinya anak-anak pun sudah tahu kalau aku masuk kelas. sebagian besar mereka tak bersemangat, mereka sepertinya tertekan kalau aku suruh mengerjakan latihan, mereka sepertinya tidak merdeka di kelas.
Padahal aku mengajarkan guru diluar sana. terkait pembelajaran pada murid mestinya dikaitkan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Pembelajaran kurikulum merdeka dianjurkan berpusat pada anak, menghamba pada murid. Pembelajaran mestinya berdiferensiasi untuk melihat kesiapan, dan minat peserta didik. pembelajaran mestinya dengan metode yang menarik, menyenangkan, dan menantang.
Namun pada kenyataannya, cara mengajarku masih jauh dari apa yang aku ajarkan. Aku merasa berdosa pada murid-muridku, pada para guru, bahkan pada negeri ini khususnya dunia pendidikan
Aku mulai merenung tentang apa yang telah mendorongku untuk melakukan hal seperti itu. Aku menyadari bahwa ambisi pribadi dan keinginan untuk diakui adalah dua faktor utama yang melatarbelakangi tindakan burukku. Aku ingin dianggap sebagai seorang guru yang hebat, sehingga aku rela melakukan apapun untuk mencapai tujuan itu.
Aku merasa sangat menyesal atas apa yang telah kulakukan. Aku ingin meminta maaf kepada semua siswa yang pernah kuabaikan, kepada rekan-rekan guru yang telah kuinspirasi, dan kepada masyarakat yang telah mempercayaiku. Kalau saja mereka tahu, bahwa aku itu bukanlah yang mereka kira. Guru macam apa aku ini.
Aku tahu bahwa perjalanan untuk memperbaiki diri tidak akan mudah. Aku harus berani mengakui kesalahan-kesalahanku dan meminta maaf kepada semua pihak yang telah kukecewakan. Aku juga harus mengubah pola pikir dan perilaku ini agar menjadi seorang guru yang lebih bertanggung jawab dan peduli terhadap siswa.
Aku berharap kisahku dapat menjadi pelajaran bagi guru-guru lain. Jangan pernah terjebak dalam citra kesempurnaan yang tidak realistis. Jadilah diri sendiri dan jangan takut untuk mengakui kekurangan, terbuka dalam kelemahan. Ingatlah bahwa menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan jiwa yang membutuhkan kejujuran, ketulusan, dan dedikasi yang tinggi.
Aku percaya bahwa dengan bantuan dan dukungan dari semua pihak, aku dapat bangkit dari keterpurukan ini dan menjadi seorang guru yang lebih baik di masa depan. Aku akan terus berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi siswa-siswiku dan masyarakat.