Yatim dalam istilah syara diartikan anak kecil, baik lelaki atau perempuan yang ditinggal mati oleh ayahnya dalam keadaan belum baligh. Sedangkan anak kecil yang ditinggal mati oleh ibunya dalam keadaan belum baligh disebut ‘ajiy‘. Dan anak kecil yang ditinggal mati oleh kedua bapak-ibunya dalam keadaan belum baligh disebit ‘lathim‘ yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘yatim piatu’.
Adapun tanda balig secara fisik adalah ketika anak sudah sampai di usia 15 tahun. dan tanda lain bagi anak laki-laki ketika ia pernah mimpi basah, dan bagi anak perempuan ketika sudah mengalami masa menstruasi, meskipun kedua tanda tersebut belum mencapai usia 15 tahun.
Bagi Imam Syafi’i, Imam Malik, dan jumhur ulama yang berpendapat bahwa status yatim tidak selesai karena balig semata atau bertambahnya usia yatim. Tetapi sebuah kedewasaan dalam beragama maupun kematangan dalam mengelola harta harus tampak pada si yatim. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, jika seseorang yatim sudah mencapai usia 25 tahun, statusnya sebagai anak lenyap darinya. Ia menyandang status dewasa yang dapat mengatur sendiri perekonomiannya. Kita pun wajib menyerahkan harta (peninggalan orang tuanya) kepadanya sekalipun ia bukan orang yang cermat. (Minhajul Muslim fi Syarhi Shahihi Muslim, juz 6, halaman 433).
Bagaimana Kondisi Psikologis Anak Yatim?
Orangtua adalah sosok terpenting bagi seorang anak. Fungsi orangtua bagi anak adalah sebagai guru, membantu anak agar bisa mengatasi setiap permasalahan yang muncul. Dimulai dari hal yang terkecil, seperti anak yang sedang belajar jalan oleh orang tua, atau sampai menemani anak belajar untuk menghadapi ujian di sekolah.
Selain sebagai pembimbing, orang tua juga berperan dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak. Dalam keluarga yang sehat, anak akan merasa takut apabila orang tua tidak hadir atau “menghilang” dalam kehidupan mereka. Kita bisa melihat saat anak yang menangis karena tidak mau ditinggal oleh ayahnya pergi untuk bekerja, semisal ke kantor, walaupun pada sore hari ayah tersebut akan pulang kembali ke rumah dan menemui anak. Anak tersebut menangis bukan karena tidak tahu apakah ayahnya akan pulang sore hari atau tidak, melainkan karena saat itu, anak kehilangan sosok ayah yang dicintainya.
Bagi anak yatim, kata “menghilang”, mereka alami dengan sebenarnya. Mereka kehilangan orang tua yang dicintainya, dan sosok itu tidak akan pernah kembali lagi. Mereka tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang umumnya didapatkan pada anak. Hal ini tentu berdampak pada perkembangannya. Dalam hal ini, anak yatim dan piatu termasuk dalam neglected children, yang berdampak pada perkembangan biologis dan psikologis.
Keutamaan Peduli dan Sayang terhadap Anak Yatim.
Kepedulian terhadap anak-anak yatim, akan mendatangkan keutamaan dan keistimewan. Di antara keutamaan tersebut telah banyak dijelaskan secara ilmiah di antaranya:
- Mendapat pahala setara orang yang bangun di malam hari untuk beribadah, pahala orang berpuasa, dan pahala orang yang berjihad. Sebagaimana hadis nabi:
Barang siapa mengasuj tiga anak yatim, maka bagaikan bangun pada mala hari dan puasa di siang hari, serta bagaikan orang yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedang untuk berjihad di jalan Allah. Dan kelak di surga bersamaku bagaikan saudara sebagaimana kedua jari ini, yaitu telunjuk dan jadi tengan (H.R, Ibnu Majah)
- Mendatangkan Keberkahan di rumahnya
Nabi saw mengungkapkan “Sebaik-baik rumah adalah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang mendapat perlakuan baik.” Rumah dengan anggota keluarga yang demikian menjadi rumah ideal dalam agama Islam. Yang akan dijaga kesehatannya, rizkinya, dan imannya.
- Mendapatkan Kebaikan yang Berlimpah
Rasulullah SAW pernah bersabda:““Barang siapa mengusap kepala anak yatim piatu laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan tangannya itu terdapat banyak kebaikan.”
- Melembutkan hati
Tidak semua orang memiliki hati yang lemah lembut, Orang-orang berhati keras dianjurkan mengasihi dan menyantuni anak yatim sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW pada hadits berikut:“Ada seseorang yang mengadu kepada Nabi Muhammad tentang kerasnya hati. Nabi menjawab: Silahkan beri makan orang miskin dan usap kepada anak yatim,” (Ibnu Hajar Al-Asqalani).
- Tidak termasuk dari Golongan Pendusta Agama
Orang-orang yang menghardik anak yatim (berkata kasar, memaki, memukul, dan tindakan sejenisnya) akan termasuk dalam golongan pendusta agama. Seperti yang telah tertulis di dalam surat Al Mau’un ayat 1 hingga 3 yang di bawah ini:“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiadk menganjurkan memberi makan kepada anak miskin.” (QS Al Ma’un, ayat 1-3).
- Terhindar dari Siksaan di Akhirat
Keutamaan menyantuni anak yatim dapat membuat kita terhindar siksaan akhirat. Seperti yang tertuang di dalam hadis riwayat Thabrani berikut ini:“Demi Yang Mengutusku dengan haq, Allah tidak akan menyiksa pada hari kiamat nanti orang yang menyayangi anak yatim, lemah lembut pembicaraan dengannya, serta menyayangi keyatiman serta kelemahannya.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
- Mendapat Gelar Abror (Orang yang Taat kepada Allah)
“Orang yang memelihara anak yatim di kalangan umat muslim, memberikannya makan dan minum, pasti Allah akan masukkan ke dalam surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak bisa diampuni.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
- Menjadi Teman Rasulullah di Surga
“Aku dan orang yang mengasuh atau memelihara anak yatim akan berada di surga begini,” lalu beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah serta merenggangkannya sedikit.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad dari Sahl bin Sa’d).
Kisah Anak Yatim
Dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub, Imam Al-Ghazali pernah mengisahkan bahwa suatu ketika ada seorang pria yang jahat semasa hidupnya di Kota Basrah, ketika meninggal tidak ada satupun orang yang mau menshalati dan mengantarkan jenazahnya ke tempat pemakaman. Bahkan sang istri pun sampai membayar dua orang untuk memikul jenazah suaminya untuk dibawa ke musholla, agar dishalati. Namun tidak ada seorang pun yang mau menshalati jenazah suaminya tersebut, sehingga sang istri pun membawa jenazah suaminya tersebut ke lahan luas untuk dimakamkan. Namun tak jauh dari lahan luas yang menjadi tempat untuk memakamkan suaminya tersebut, hiduplah seorang ahli ibadah yang rumahnya berada di atas gunung. Sang istri melihat sang ahli ibadah tersebut turun gunung untuk menshalati jenazah suaminya tersebut, yang dicap sebagai orang jahat dan tidak ada yang mau mensholatinya, serta mengantar jenazahnya.
Kabar bahwa Sang ahli ibadah yang akhirnya turun gunung, didengar oleh para penduduk. Kemudian mereka pun ikut menyalati jenazah tersebut.Para penduduk yang selesai menshalati jenazah tersebut merasa heran, dan mempertanyakan apa yang menjadi sebab sang ahli ibadah mau turun gunung untuk menshalati jenazah itu. Sang ahli ibadah menjawab pertanyaan para penduduk tersebut, bahwasanya, “Aku mendengar dalam mimpiku; turunlah ke si fulan, karena tidak seorangpun yang mau menshalatinya. Maka shalatkanlah, sebab ia telah diampuni oleh Allah SWT”. Jawaban yang keluar dari mulut sang ahli ibadah semakin membuat para penduduk penasaran, amalan apakah yang telah dilakukan oleh jenazah yang merupakan seseorang yang jahat dalam hidupnya, sehingga semua dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. Kemudian sang ahli ibadah tersebut, bertanya kepada istri almarhum dan menanyakan perilaku suaminya semasa hidupnya. Sang istri yang ditanya oleh sang ahli ibadah, menjawab, “Sebagaimana orang-orang ketahui, bahwa almarhum suami saya sehari-harinya hanya berbuat dosa dan selalu mabuk-mabukan”. Mendengar jawaban tersebut, sang ahli ibadah meyakinkan Istri almarhum untuk mengingat lebih dalam lagi tentang perbuatan almarhum. “Cobalah Anda ingat kembali, apakah ada amalan kebaikan yang pernah dilakukannya semasa hidup?” Istri almarhum kemudian ingat dan menjawab, “Oh ya, saya ingat. Ada tiga amalan kebaikan yang selalu dilakukan oleh almarhum suami saya di masa hidupnya. Pertama, ketika dia sadar dari mabuknya di waktu subuh, ia segera mengganti pakaiannya. Kemudian berwudhu, dan sholat berjama’ah subuh. Kedua, di rumah kami tidak pernah sepi dari satu atau dua anak yatim, dan kebaikan almarhum suami saya terhadap anak yatim melebihi kebaikannya terhadap anaknya sendiri. Ketiga, suatu ketika almarhum pernah sadar dari mabuknya di tengah malam, dia menangis dan berkata; ‘Ya Tuhanku, letak neraka jahannam manakah yang engkau kehendaki untuk meletakkan orang terkutuk sepertiku ini?”
Ketulusan dalam melakukan hal-hal yang kadang dianggap sepele oleh sebagian orang seperti menyantuni anak yatim dan merawatnya, justru malah menjadi pintu ampunan dari Allah SWT bagi para hamba-Nya. Karena Allah SWT tidak memandang seberapa banyak kita beramal, tetapi seberapa istiqomah dan tulusnya kita beramal untuk sesama dan seberapa tulus kita beriman kepada-Nya.