Seorang murid mendatangi guru spiritualnya. Wajahnya tampak lesu, seakan ada beban yang mengganggu pikirannya. Tanpa banyak kata, murid itu langsung membuka pembicaraan.
Murid: “Guru, saya merasa akhir-akhir ini ibadah saya terasa hambar. Saya berusaha shalat, membaca doa, dan melakukan semua yang saya bisa, tapi sepertinya tidak ada perubahan. Apa yang salah dengan saya?”
Guru itu tersenyum bijak, duduk dengan tenang di hadapan muridnya. Ia mengamati wajah muridnya yang tampak penuh kebingungan. Setelah sejenak, sang guru mulai berbicara dengan lembut.
Guru: “Ada tiga hal yang bisa menyebabkan seseorang merasa ibadahnya hambar. Yang pertama adalah banyak dosa. Ketika hati dipenuhi oleh dosa, akan ada penghalang antara kita dan Tuhan. Ibadah yang kita lakukan mungkin terasa kosong karena hati kita tidak bersih. Seperti air yang keruh, walaupun kita coba meminumnya, rasanya tetap tidak segar.”
Murid: “Jadi, apakah dosa-dosa saya yang membuat saya merasa seperti ini?”
Guru: “Bisa jadi. Coba ingat-ingat, apakah ada dosa yang belum kamu minta ampun? Setiap dosa, sekecil apapun, bisa membuat hati kita merasa berat. Seperti sebuah batu yang menghalangi jalan, itu membuat kita sulit melangkah. Jika kita tidak membersihkan dosa-dosa itu, ibadah kita akan terasa seperti rutinitas, bukan pengalaman yang mendalam.”
Murid itu terdiam, berpikir sejenak. Kemudian dia melanjutkan pertanyaannya.
Murid: “Apa ada hal lain yang menyebabkan ibadah saya terasa tidak berarti, Guru?”
Guru: “Ada. Penyebab kedua adalah kurangnya pemahaman tentang makna ibadah itu sendiri. Jika kita hanya melakukan ibadah secara lahiriah tanpa memahami hakikatnya, maka ibadah itu akan terasa kosong. Misalnya, ketika kita shalat, apakah kita benar-benar merasakan kedekatan dengan Tuhan? Atau kita hanya sekadar bergerak, berdiri, rukuk, dan sujud tanpa rasa apa-apa?”
Murid: “Maksud Guru, apakah saya harus lebih mendalami makna doa-doa saya?”
Guru: “Betul sekali. Cobalah untuk merenungkan makna dari setiap doa yang kamu ucapkan. Rasakan kehadiran Tuhan dalam setiap gerakan shalatmu. Jadikan ibadah sebagai komunikasi langsung dengan Tuhan, bukan sekadar kewajiban yang harus diselesaikan.”
Murid itu mengangguk perlahan, mencoba mencerna kata-kata guru. Namun, masih ada satu pertanyaan yang menggantung di pikirannya.
Murid: “Ada satu lagi, Guru. Apa penyebab lainnya?”
Guru: “Yang ketiga adalah lupa akan kematian. Ketika kita lupa bahwa hidup ini sementara dan kematian bisa datang kapan saja, kita sering terjebak dalam rutinitas dunia yang tidak ada habisnya. Hati kita menjadi keras, dan kita pun tidak merasa urgensi untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Padahal, jika kita ingat bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk beribadah, kita akan lebih serius dalam berdoa dan beribadah. Kematian adalah pengingat bahwa waktu kita sangat terbatas.”
Murid: “Jadi, saya harus lebih ingat akan kematian agar ibadah saya lebih terasa berarti?”
Guru: “Betul. Ingatlah bahwa hidup ini adalah anugerah yang sementara. Setiap detik adalah kesempatan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan mengingat kematian, kita akan lebih menghargai setiap ibadah yang kita lakukan, dan ibadah itu pun akan terasa lebih hidup.”
Murid itu terdiam, merenung mendalam. Ia mulai menyadari bahwa ibadah yang terasa hambar itu bukanlah tanpa sebab. Ada dosa yang harus dihapus, pemahaman yang perlu diperbaiki, dan hati yang harus diingatkan tentang kematian.
Murid: “Terima kasih, Guru. Saya akan mencoba untuk membersihkan hati saya, memperdalam pemahaman tentang ibadah, dan mengingat kematian lebih sering.”
Guru: “Semoga Allah memberimu kemudahan. Ingat, setiap langkah menuju Tuhan itu berharga, sekecil apapun itu.”
Dengan hati yang lebih ringan, murid itu meninggalkan guru dengan tekad baru. Ibadahnya mungkin tak akan langsung terasa berbeda, tetapi ia tahu bahwa perubahan itu dimulai dari dalam hati.