Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang disekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikis (Chaplin, 2011).
Teori mengenai perkembangan psikososial yang paling familiar adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami tahapan perkembangan dari bayi hingga usia lanjut. Perkembangan sepanjang hayat tersebut melalui delapan tahapan. Setiap tahapan mempunyai nilai kekuatan yang membentuk karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi kelemahan sehingga karakter negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang.
Setiap tahapan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras. Berikut tahapan perkembangan setiap individu berdasar teori Erikson:
Tahap I (usia 0-1,5 tahun )
Masa ini adalah masa titik awal pembentukan kepribadian. Bayi belajar mempercayai orang lain agar kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi. Peran ibu atau orang-orang terdekat seperti pengasuh yang mampu menciptakan keakraban dan kepedulian dapat mengembangkan kepercayaan dasar.
Dalam tahap ini bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan dapat mengembangkan asa. Jika proses ego ini tidak terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya,
Tahap II (usia 1,5 – 3 tahun )
pada tahap ini ialah otonomi,rasa malu serta keragu-raguan. Kekuatan yang seharusnya ditumbuhkan adalah “keinginan atau kehendak” dimana anak belajar menjadi bebas untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri seperti belajar makan atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau mendapat jawaban dari sesuatu yang ditanyakan. Orangtua menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi.
Tahap III (usia 3- 5 tahun )
Anak pada tahap ini belajar menemukan keseimbangan antara kemampuan yang ada dalam dirinya dengan harapan atau tujuannya. Itu sebabnya anak cenderung menguji kemampuannya tanpa mengenal potensi yang ada pada dirinya. Pada tahap ini anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa bertanggung jawab dan prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif.
Tahap IV (usia 5- 12 tahun )
Pada tahap ini yang perlu ditumbuhkan ialah kompetensi atau terbentuknya berbagai keterampilan. Membandingkan kemampuan diri sendiri dengan teman sebaya terjadi pada tahap ini. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial dan akademis melalui kompetisi yang sehat dengan kelompoknya. Keberhasilan yang diraih anak memupuk rasa percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah inferioritas.
Tahap V (usia 12- 18 tahun )
Anak mulai memasuki usia remaja di mana identitas diri, baik dalam lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan masa remaja adalah awal usaha pencarian diri sehingga anak berada pada tahap persimpangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Konflik utama yang terjadi ialah identitas vs kekaburan peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya.Remaja mulai mencari identitas mereka sendiri dan mempertanyakan siapa mereka, atau bisa mengalami peran bingung jika mereka tidak yakin dengan identitas mereka.
Tahap VI (usia 18- 40 tahun )
Pada tahap ini yang dibutuhkan ialah “kasih” karena muncul konflik antara keintiman atau keakraban vs keterasingan atau kesendirian. Agen sosial pada tahap ini adalah kekasih, suami atau isteri termasuk juga sahabat yang dapat membangun suatu bentuk persahabatan sehingga tercipta rasa cinta dan kebersamaan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka muncullah perasaan kesepian, kesendirian dan tidak berharga. Orang dewasa mengembangkan hubungan yang intim dengan orang lain atau merasa terisolasi jika mereka tidak dapat membuat koneksi yang bermakna.
Tahap VII (usia 40- 65 tahun )
Pada tahap ini dihadapkan pada tugas utama untuk menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus. Konflik utama pada tahap ini ialah generatifitas vs stagnasi, sehingga kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan ialah kepedulian. Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi atau keterhambatan perkembangan.
Tahap VIII (usia 65- kematian )
Tahap ini memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatiannya sehingga kebutuhannya adalah untuk dihargai. Konflik utama pada tahap ini ialah Integritas Ego vs Keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu dibentuk ialah pemunculan “hikmat atau kebijaksanaan”. Fungsi pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial, memberi makna tentang kehidupan.