Mengingat mati adalah salah satu cara untuk meningkatkan iman. Melayat, bertakziah pada saudara seiman yang meninggal, merupakan cara untuk mengingatkan kita, bahwa suatu saat akan menyusulnya. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh seorang muslim untuk menjaga kualitas imannya. Namun cara paling kuat ialah dengan sering mengingat mati. Karena dengan mengingat mati, seseorang akan lebih waspada dan berhati-hati dalam berucap, bertindak, dan berbuat.
Kematian adalah peristiwa berpisahnya ruh dari jasad. Dan itu tidak terjadi kecuali disertai mabuk dan rasa nyeri yang teramat sangat. Mabuk dan rasa nyeri itulah kemudian disebut dengan sakaratul maut. Tak heran sakaratul maut menjadi sesuatu yang ditakuti dan dijauhi setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya,” (QS Qaf, 50).
Banyak ayat dan hadits yang menggambarkan betapa beratnya sakaratul maut, terutama yang dialami oleh hamba-hamba zalim dan ahli maksiat.Beratnya kematian juga tergambar dari perbincangan singkat antara Sayidina ‘Umar ibn Al-Khathab dengan Ka‘ab. Pria yang tengah menjabat sebagai khalifah kedua itu bertanya, “Wahai Ka‘ab, sampaikanlah kepadaku tentang maut.” Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, maut itu bagaikan sebuah pohon yang banyak durinya dimasukkan ke dalam perut anak Adam. Setiap duri memegang satu urat darinya. Kemudian ditarik sekaligus oleh seorang laki-laki yang sangat kuat. Maka terputuslah semua urat yang menyangkut pada duri. Tertinggallah urat-urat yang tersisa.”
Kemudian, saat menghadapi sakaratul maut ‘Amr ibn Al-‘Ash pernah ditanya oleh putranya tentang gambaran kematian. Ia menjawab, “Demi Allah, dua sisi tubuhku seakan-akan berada dalam himpitan. Napasku seakan-akan keluar dari lubang jarum. Dan sebuah dahan berduri ditarik sekaligus dari ujung telapak kaki hingga ujung kepalaku.”
Dari kisah di atas, sungguh begitu dahsyatnya proses sakaratul maut bagi seorang yang akan meninggal. Marilah sejenak kita merenung, bahwa suatu saat hal itu akan terjadi pada kita.
Dikisahkan daiam suatu hadits: Ketika Allah akan mencabut nyawa hamba-Nya, Malaikat Maut mendatangi hamba tersebut pada mulut untuk mencabut nyawanya, maka keluariah dzikir dari mulut tersebut dan berkata: “Tidak ada jaian bagimu (untuk mencabut nyawa) dari arah sini.” lama sekali lisannya berdzikir kepada Allah. Maka Malaikat Maut kembali menghadap kepada Allah dan mengatakan apa yang terjadi, lalu Allah SWT. berfirman: “Cabutlah (nyawanya) dari arah yang lain.”
Maka datanglah Malaikat Maut pada tangan, keluarlah shadaqah dari tangan, seraya berkata: “Tidak ada jalan bagimu untuk mencabut nyawanya, sesungguhnya dia bershadaqah dengan aku (tangan) banyak sekali, dan dia mengusap kepala anak yatim, menulis ilmu dengan pena.”
Lalu datanglah Malaikat Maut pada kaki, dan kaki berkata: “Tidak ada jalan bagimu dari arahku, sesungguhnya dia berjalan untuk shalat berjamaah, shalat hari raya, mendatangi majelis ilmu dan ta’lim dengan aku (kaki).”
Kemudian Malaikat Maut mendatangi telinga, dan telinga pun berkata: “Tidak ada jalan bagimu dari arahku, sesungguhnya dia mendengarkan Ai-Qur’an, adzan dan dzikir dengan aku (telinga).”
Maka datanglah Malaikat Maut pada kedua mata, dan keduanya berkata: “Tidak ada jalan bagimu dari arah kami, sesungguhnya dia meiihat Mushaf (A!-Qur’an), wajah para ulama, kedua orangtuanya dan orang-orang yang saieh dengan kami.”
Kemudian Maiaikal Maut pergi menghadap Allah dan berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya hamba-Mu berkata begini dan begini.”Maka Allah SWT. berfirman: “Wahai Malaikat Maut, gantungkanlah nama-Ku pada telapak tanganmu dan perilihatkanlah pada ruh hamba-Ku, jika dia melihatnya niscaya keluariah ia.” Maka ditulislah asma Allah pada telapaknya dan diperlihatkan pada hamba Ailah, maka ia pun mengiyakan dan keluarlah ruh hamba tersebut dengan berkah asma Allah dan hilanglah pahitnya sakaratul maut darinya.
Dikisahkan dalam suatu hadits: Ketika seorang hamba mengalami naza’ (sakaratui maut), ada nida’ yang menyeru dari sisi Allah: “Tinggalkanlah dia supaya bisa istirahat sebentar.” ketika ruh sampai di dada, Dia berfirman: “Tinggalkanlah dia supaya bisa istirahat sebentar.” Begitu juga ketika roh sampai pada kedua lutut dan pusar. Ketika sampai pada tenggorokan datanglah nida’ (seruan): “Tinggalkanlah dia sehingga anggota tubuhnya saling berpamitan satu sama iainnya.” Maka berpamitanlah mata dengan mata, seraya berkata: ASSALAAMU ‘ALAIKUM ILAA YAUMIL QIYAAMAH. “Semoga keselamatan tetap tercurahkan kepadamu sampai hari kiamat.” Begitu juga kedua telinga, kedua tangan dan kedua kaki dan ruh berpamitan dengan jasad, dan iman berpamitan dengan lisan. Dan semoga kita dilindungi oleh Allah dari pamitannya ma’rifat dan irnan dengan hati. Dan tinggallah dua tangan dan dua kaki yang tidak bergerak, dua mata yang tidak melihat, dua telinga yang tidak mendengar, badan yang tidak bernyawa, lisan tanpa iman, hati tanpa ma’rifat. Maka bagaimanakah keadaan hamba yang ada pada liang lahad, tidak melihat suatu apa pun, tidak ada ibu, bapak, anak- anak, saudara, sahabat, tanpa alas dan tanpa hijab. Maka orang yang tidak dapat melihat Tuhan Yang Mulia, sungguh orang itu dalam kerugian yang besar.