Pembahasan takdir di kalangan masyarakat masih misteri, masih ada saja yang bingung. Sampai-sampai banyak orang yang tidak berani membahas soal takdir. Takdir ya takdir, suatu ketetapan Allah yang tidak bisa diubah oleh yang lain, termasuk manusia. Kita tidak punya hak sedikit pun tentang ketetapan itu.
Dalam sejarah Islam ada paham yang familiar dalam menyikapi takdir. Yang pertama adalah paham Jabariah. Paham yang menafikan perbuatan manusia. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuataannya. Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Paham Jabariah berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam tidak memberi peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berbuat sesuai kehendaknya. Semua sudah diatur oleh Allah swt, sehingga tidak ada ruang bagi ikhtiar manusia. Manusia hanya menjalani nasib.
Paham kedua adalah qadariyyah. Paham ini berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendak, bukan tunduk pada takdir Tuhan. Di mana tidak ada kehendak dan kekuasaan Allah sedikit pun yang dapat mempengaruhinya. Tidak ada yang memiliki kuasa atas kemauannya. Dia bisa beriman atau kafir jika mau dan mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Sehingga asas Takhlif atau pemberian tanggung jawab, pemberian pahala dan siksa tidak ada gunanya.
Paham ketiga adalah ahlusunah. Paham ini menyimpulkan bahwa manusia mempunyai pilihan dan kehendak, ia berbuat sesuai pilihannya, akan tetapi tidak keluar dari takdir Allah, maka perbuatan mereka adalah ciptaan Allah, namun perbuatan itu ada yang telah diusahakan oleh manusia itu sendiri. Manusia yang melakukan keburukan atau kebaikan, tetapi Allah yang menakdirkan. Oleh karena itu, manusia dihukum atas kemaksiatannya dan diberi pahala atas kebaikan yang ia kerjakan. Seandainya perbuatan yang ia lakukan bukan karena pilihannya, maka dia tidak mendapatkan pahala dan hukuman. Paham inilah yang fleksibel dan bijak dalam menyikapi konsep takdir.
Takdir merupakan kadar dan ukuran, yakni ukuran batasan kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia sebagai bentuk kasih sayang. Takdir di tempatkan dalam rukun iman paling akhir dikarenakan takdir merupakan ketentuan Allah yang bisa berubah dan bisa tetap.
Allah telah menyiapkan takdir bagi masing-masing hambanya sehingga ketetapannya pun berbeda, dan ketika penetapan yang dilakukan Allah telah tercatat, ada beberapa hal yang dapat diubah manusia pada takdirnya dan adapula hal yang tidak bisa diubah manusia. Sehingga muncul dua jenis takdir.
Yang pertama adalah takdir mubram. Takdir mubram adalah takdir yang sudah ditetapkan dan tidak dapat diubah lagi. Takdir mubram berkaitan dengan hukum alam (sunnatullah). Seperti seorang anak yang terlahir, tidak dapat menentukan memilih, dari siapa bapak atau ibunya, karena hal tersebut sudah merupakan ketetapan dari Allah. Kedua adalah takdir muallaq, yakni takdir atau ketetapan dari Allah SWT yang dapat diubah oleh manusia dengan ikhtiar atau usaha. contohnya adalah perihal kemiskinan. Ketika seorang manusia ditakdirkan miskin, ia masih bisa mengubah takdirnya dengan bekerja keras dan berdoa.
Konsep yang sering muncul dalam pembahasan takdir biasanya dalam hal rizki, jodoh, dan kematian. Ada suatu simpulan bahwa ketiga hal ini menjadi ketetapan mutlak sebelum seorang manusia dilahirkan, di mana manusia tidak bisa menolaknya atau mengerjarnya.
Rizki seseorang sudah ditetapkan oleh Allah, jadi tidak bisa diubah-ubah. Sehebat apa pun kita berusaha mencari rizki, jika Allah sudah menakdirkan miskin, sebelum lahir, maka miskin jugalah yang didapatkan. Dan begitu halnya, semalas apa pun seorang manusia, jika Allah sudah menakdirkan kaya, ya bakal kaya. Sungguh kesimpulan ini tidak bisa diterima dari logika. Karena tidak adanya pengaruh dari sebab akibat.
Bahwa rizki manusia tidak mutlak ditetapkan sebelum kelahirannya. Karena besar kecilnya rizki yang didapat, bergantung dari pengaruh usaha yang ia lakukan. Satu contoh, bagi seorang pedagang, Jika ia tidak berdagang, seminggu saja, dia diam saja di rumah, tidak melakukan aktivitas menjemput rizkinya, apakah sama rizkinya, saat dia berjualan? Tentunya tidak. Jadi kesuksesan dalam hal rizki sangat bergantung pada usaha yang dilakukan oleh manusia, meskipun tidak bersifat mutlak, karena ada peran iradah Allah. Karena Allah akan menetapkan takdir kita, setelah manusia itu berusaha.
Dalam konsep jodoh, sering muncul ungkapan, “Kalau memang jodoh tak akan ke mana.” Ia akan tetap menjadi jodohnya. Sungguh ungkapan ini seakan-akan jodoh tidak perlu dicari, tidak perlu diusahakan, santai ajalah, nanti juga dia tetap berjodoh. Padahal tidak demikian. Dalam hal jodoh pun, manusia dituntut untuk berusaha, bertindak, tidak diam apalagi santai-santai. Bahwa orang yang tidak berusaha mencari jodohnya, ia tidak akan bertemu jodohnya. Orang yang tidak berusaha mencari jodoh yang baik, yang salih atau salihah, bakal ketemu jodoh yang buruk. Jodoh yang buruk bisa berpengaruh dalam kondisi rumah tangganya, sehingga tidak hadirya sakinah mawadah wa rohmah, yang bisa berujung pada wilayah perpisahan.
Satu contoh konsep jodoh, bahwa jodoh perlu dibarengi dengan usaha atau tindakan, bukan menunggu atau bersantai-santai. Jika ada laki-laki ganteng, mapan, dan terpandang. Dia boleh saja menikah, memilih dengan perempuan mana pun yang dia mau. Namun laki-laki itu tidak bisa memaksa perempuan yang dipilihnya untuk dinikahi, karena sang perempuan punya hak sediri, punya pilihan sendiri.
Konsep ketiga adalah kematian. Selama ini ada anggapan bahwa kematian sudah ditetapkan oleh Allah sebelum kelahiran manusia, Baik berkaitan waktunya maupun cara meninggalnya. Dengan kata lain manusia tidak bisa memilih panjang usia atau cara matinya, tidak akan pengaruh dengan adanya usaha merawat kesehatan atau melalaikannya. Padahal tidak demikian. Allah sangat menghargai hambanya yang berusaha dan berdoa. Bagi hamba-Nya yang merawat kesehatan dan berdoa panjang umur, maka Allah akan kasih. Dan Allah tidak menyukai hambanya yang bermalas-malasan, malas berdoa, lalai merawat kesehatan. Dan Allah menganjurkan hamba-Nya untuk berbuat baik, dengan gemar berbagi, bersilaturahim yang bisa memanjangkan umur dan meluaskan rizki.
Dan Allah melarang manusia bunuh diri. Hal ini menunjukkan kematian bisa diusahakan oleh manusia, mereka yang beriman labil, atau bahkan tidak beriman. Bahwa Allah sudah menentukan kematian manusia secara wajar. semestinya bagaimana pun seseorang melakukan usaha bunuh diri, ia tidak akan bisa terbunuh. Tapi karena ia bisa terbunuh, maka Allah pun melarang hal ini.
Ketetapan Allah yang familiar dengan takdir, identik dengan dua istiah qadar dan qadla. Qadar merupakan ketentuan awal, ketetapan Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Seperti seseorang yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki, lahir di Indonesia, warna kulit sawo matang dan sebagainya.
Istilah kedua adalah qadla, qadla diartikan ketetapan Allah yang ditentukan berdasarkan adanya usaha tertentu. Perpaduan antara qadar dan qadla itulah yang menghasilkan takdir. Jadi manusia yang tidak melakukan usaha atau tindakan untuk mencapai apa yang diinginkanya, maka Allah tidak akan memberikan takdir terbaiknya. Sebagaimana firman Allah, “ Bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka melakukan usaha untuk mengubahnya sendiri.” Bahwa ayat ini menginformasikan, Allah menunggu apa yang manusia lakukan, sebelum menentukan takdir.
Contoh konkret merumuskan takdir dengan media kalkulator. Ketika seseorang mau menjumlahkan, mengalikan, mengurangi bilangan, semua sudah ada dalam memori kalkulator. Jika seseorang menjumlahkan 100 + 50, 100 x 50, 100 – 50, semua jawaban sudah disiapkan, sudah ada sebelum bilangan tersebut dipencet. Jawaban akan mengikuti apa yang dipencet oleh orang tersebut. Seluruh jawaban atas segala kemungkinan sudah berada di program kalkulator. Jika seseorang tidak melakukan usaha menekan, memencet tombol bilangan yang dimaksud, maka jawaban tidak akan muncul dari kalkulator, begitulah kalau tidak ada usaha, maka Allah tidak akan mengubah keadaan manusia. Begitulah perumpamaan Lauh Mahfuz, Allah telah menuliskan seluruh, kemungkinan takdir yang bakal terjadi pada manusia, yang berupa sunatullah.
Simpulannya adalah bahwa takdir bukan ditentukan sebelum kejadian, melainkan seiring proses yang berjalan. Manusia bisa berusaha memilih, takdir macam apa yang diinginkan, meskipun hasilnya tidak sepenuhnya ada digenggamannya. Bahwa takdir dasar telah terjadi, dan ditetapkan sebelum kelahiran. Sedangkan takdir terbaik masih berproses untuk terjadi dan dipengaruhi oleh usaha, tindakan, dan doa.
Keberhasilan takdir manusia memang bergantung pada kehendak Allah. Namun kehendak Allah itu, adalah sebagian berupa kehendak manusia (usaha, doa manusia). Kehendak manusia bakal memancing kehendak Allah untuk menetapkan takdir-Nya.