Berikut kerangka Pemikiran dari seorang tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Kerangka ini merupakan sebagian dari beberapa kerangka yang telah diimplementasikan olehnya dalam dunia pendidikan.
- Arti Pengajaran dan Pendidikan
Pengajaran (onderwijs) merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Artinya pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Pendidikan diartikan sebagai tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya bahwa pendidikan itu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
- Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pendidikan itu hanya suatu tuntunan, artinya bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya.
Sebagai contoh perbandingan, hidupnya tumbuh-tumbuhan oleh seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman padi dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat- iradatnya padi. Artinya petani tidak dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, petani juga tidak dapat memelihara tanaman padi dengan cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.
- Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh buruk atau jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.
Hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.
Tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh- kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
- Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Dasar-jiwa yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama, anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis. Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan. Ketiga, aliran convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik.
- Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Intelligible dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya.
Anak yang penakut, setelah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Sehingga anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut.
- Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Seseorang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun jika ia memang mempunyai dasar watak kikir maka ia akan selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan. Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan.
Seorang pendidik diharapakan tidak berputus asa dalam mendidik. Dengan mengajarkan penguasaan diri (adab) pada murid secara tetap dan kuat maka akan melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik dalam diri mereka. Karena kecerdasan budi yang dimiliki seseorang dapat mewujudkan kepribadian dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan) artinya dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis.
Budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazas hukum kebatinan. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.
Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. bahwa budi berarti pikiran- perasaan-kemauan. Pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia mampu berdiri sebagai manusia, dan memiliki upaya mengurangi tabiat jahat yang ada dalam dirinya.
- Jenis Budi Pekerti
Tidak ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).
- Naluri Pendidikan
Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).
- Jenis Pendidikan
Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen) terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:
- Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);
- Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);
- Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);
- Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);
- Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)
Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiran- ukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir.
Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang bagus jika ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.
- Peralatan Pendidikan
Peralatan adalah alat-alat pokok, yakni cara- cara mendidik. Adapun cara- cara mendidik seperti berikut:
- Memberi contoh (voorbeld);
- Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
- Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
- Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);
- Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
- Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak memakai alat nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara atau beberapa saja karena disesuaikan dengan keadaan- keadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik.
- Hubungan Pendidikan dengan Umur
Umur anak didik terbagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu). Masa pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); masa kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan masa ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).
Apabila alat-alat atau cara-cara pendidikan di atas dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut:
- Masa pertama (dengan memberi contoh dan pembiasaan)
- Masa kedua (dengan pengajaran dan perintah)
- Masa ketiga (dengan tindakan dan pengalaman lahir batin)