Kartini adalah sosok pahlawan wanita dari Kota Jepara yang telah memperjuangkan emansipasi wanita di nusantara. Beliau wanita yang multi ilmu pengetahuan. Tidak hanya ilmu yang bersifat dunia, ia pun belajar ilmu untuk bekal akhiratnya. Kartini muda adalah sosok yang cerdas, kritis, kuat, hebat, dan gemar membaca dan menulis. Ya. Kartini adalah sosok wanita yang literat. Kumpulan surat-surat Kartini yang diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul asli “Door Duisternis tot Licht” atau “Habis gelap Terbitlah Terang” menjadi bukti bahwa Kartini sosok perempuan pecinta literasi. Habis gelap terbitlah terang merupakan perwujudan inspirasi Kartini dari Surat Al-Baqarah ayat 257 yang menjelaskan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap menuju cahaya yang terang.
Kartini sosok perempuan yang kritis. Ia pun belajar mengaji. Saat belajar mengaji, Kartini pernah mendapati pengalaman yang tidak menyenangkan. Guru ngajinya memarahinya, ketika Kartini muda bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an, namun tidak dijelaskan. Bahkan Kartini sempat menduga, jangan-jangan gurunya juga tidak tahu arti ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan kepada dirinya. Dari pengalaman tersebut, Kartini menulis surat untuk sahabatnya , Stella Zihandelaar, yang berisi “Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”
Kartini sosok perempuan yang serius. Allah mempertemukan Kartini dengan Kyai Soleh Darat (Maha guru Ulama Nusantara yang melahirkan dua tokoh besar, K..H. Hasyim As’Ari dan K.H. Ahmad Dahlan. Pendiri organisasi NU dan Muhammadiyah). Saat Kyai soleh memberi pengajian tentang kandungan isi surat Alfatihah di Pendopo rumah Bupati Demak. Kartini muda terkesima, menyimak dengan serius kata demi kata. Bahwa surat alfatihah memilki muatan makna yang indah sampai menggetarkan sanubarinya. Dari pertemuan inilah, Kartini muda memohon Kyai Soleh Darat untuk berkenan menerjemahkan Al-Qur’an. Lalu muncullah karya Kyai Soleh Darat “ Kitab Faidur rahman “ Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an pertama di nusantara.
Kartini sosok wanita literat. Di saat usianya belum 20 tahun, Kartini sudah tuntas membaca buku-buku seperti: Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht atau Kekuatan Gaib karya Louis Coperus, dan Die Waffen Nieder atau Letakkan Senjata karya Berta Von Suttner. Semua buku yang dibaca Kartini pun berbahasa Belanda.
Kartini adalah sosok perempuan yang moderat dan progresif. Sekalipun hidup di zaman yang belum maju, Kartini sangat literat. Sadar akan pentingnya membaca dan menulis dalam hidupnya. Hingga menjadi bagian dari sejarah. Sederhana sekali, peringatan Hari Kartini, harusnya bisa mengembalikan kita dan publik di bumi Indonesia untuk membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis, Kartini diperingati sebagai sosok bersejarah. Dari membaca, Kartini muda mengintip dunia lain di luar dirinya. Dari menulis, dia ber-ekspresi dan mengungkap impiannya untuk tergerak, bergerak, dan menggerakan kaum wanita dan bangsa. Dan jika hari ini, ada perempuan yang disakiti, patah hati, atau dizalimi oleh kaum lelaki, maka janganlah diekpresikan dengan menangis, tapi menulis. Karena menulis akan lebih maksimal dalam mencurahkan isi hati, dan dengan menulis bisa dijadikan kenangan sejarah dalam hidupnya.
Kartini bukan sekadar soal emansipasi. Karena hari ini, emansipasi wanita sudah lebih bagus dari zaman dulu. Sudah banyak perempuan yang berperan dalam segala bidang, sebagaimana yang diperankan oleh kaum lelaki. Kartini bukan pula soal kesetaraan gender. Melainkan sosok kartini ialah perempuan yang patut diteladani ide dan nilai-nilai feminismenya. Kartini bukan hanya sebatas gerakan, tapi diikuti oleh tindakan untuk memajukan bangsanya.
Maka Kartini hari ini. Harusnya dilihat sebagai sikap. Bukan ambisi apalagi perjuangan eksistensi. Emansipasi orientasinya ditanam ke dalam diri, bukan dikejar ke luar diri. Karena sikap Kartini itu menjadi cerminan perbuatan yang berdasar pada keyakinan untuk lebih bernilai dan bermanfaat. Bukan ambisi berupa hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Sungguh keliru bila Kartini hari ini, obesisnya hanya untuk meraih status kedudukan, pangkat, dan materi guna mengangkat eksistensi sosialnya.
Sungguh, emansipasi wanita di hari ini sama sekali bukan isu lagi. Karena begitu banyak wanita yang bekerja keras, berkarier untuk menghidupi diri, dan keluarganya. Bahkan tidak sedikit wanita berstatus single parent merangkap predikat ibu sekaligus ayah. Dari sebab itulah bahwa perempuan mempunyai hak bekerja, hak pendidikan, hak berkarya, bahkan hak dipilih dalam politik. Tapi itu semua bukan alasan wanita-wanita harus menjelma menjadi laki-laki. Agar disebut berhasil dalam emansipasi. Atau agar ingin dihargai dan diterima kaum laki-laki. Kartini bukan soal wanita tidak boleh lebih rendah dari laki-laki. Melainkan hadirnya nilai-nilai tangguh dan mandiri dari seorang Kartini.
Bila ada di hari ini, wanita yang lupa kewajibannya, wanita yang lupa akan kodratnya. Karena merasa sudah hebat dalam pendidikan dan kariernya atau karena mengejar urusan dunia. Tapi di saat yang sama, mereka gagal dalam mengemban amanah. Entah sebagai ibu bagi anak-anaknya, atau sebagai istri bagi suaminya. Maka, segeralah kembalikan pada hakikat Kartini yang sesungguhnya. Bahwa Kartini hari ini adalah mereka yang cerdas, mampu mengelola sikap dan hatinya, kapan ia menjadi sosok Kartini internal dan kapan ia menjadi sosok Kartini eksternal.