Ki Hajar Dewantara percaya bahwa guru bukan hanya seorang pengajar, tetapi penuntun, pemandu dan pembimbing dalam perjalanan belajar muridnya. Filosofi menuntun bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi lebih pada pembentukan karakter dan mengembangkan potensi mereka. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa tujuan pendidikan ialah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Dalam menuntun pertumbuhan kodrat anak, Ki Hajar Dewantara mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung tersebut kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung tersebut adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.
Dalam proses menuntun, anak-anak diberi kebebasan dalam belajarnya namun pendidik sebagai ‘pamong’ tetap memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain.
Ki Hajar Dewantara mengingatkan para pendidik “untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut di selaraskan lebih dahulu dengan nilai luhur bangsa yang bisa dijadikan sumber belajar”
Kekuatan sosio-kultural menjadi proses ‘menebalkan’ kekuatan kodrat anak yang masih samar-samar dalam pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk menuntun memfasilitasi dan membantu anak untuk menebalkan garis samar-samar agar dapat memperbaiki laku-nya untuk menjadi manusia seutuhnya. Anak bukan kertas kosong yang bisa digambar, ditulis sesuai keinginan guru atau orang dewasa.
Filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa menuntun mengandung beberapa makna mendalam, antara lain:
- Pemberi Petunjuk
Guru tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga membantu murid untuk menemukan jawaban mereka sendiri. Untuk menuju ke arah tersebut dengan cara melibatkan peserta didik dalam proses diskusi, pemecahan masalah, dan pemberian arahan yang membantu murid berpikir kritis.
- Membangun Kemandirian
Konsep “menuntun” mengajarkan pentingnya mengembangkan kemandirian dalam belajar. Guru dapat memancing atau memantik siswa untuk menemukan jawaban atas kesulitan yang dihadapi, sehingga murid tidak selalu bergantung dengan orang lain. Murid akan belajar bergantung pada kekuatan kodrat yang dimilikinya.
- Pembentukan Karakter
Guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter murid.Guru memberikan contoh yang baik, positif. Memberi teladan, membimbing dalam menghadapi konflik, dan membantu murid tumbuh menjadi individu yang berintegritas, cerdas, berakhlak mulia dan bermartabat sesuai profil pelajar Pancasila.