Teman adalah orang yang berada dalam kehidupan kita yang nyata. Pertemanan merupakan aksi nyata dalam bersosialisasi. Orang yang tak berteman tidak akan pernah menjadi manusia seutuhnya. Saat berteman bergaul maka dibutuhkan keberanian untuk bersikap dan tetap menjadi diri sendiri dan apa adanya.
Tidak perlu bangga ketika punya banyak teman, dan tidak perlu sedih ketika memiliki sedikit teman. Karena seorang teman bisa membuat seseorang menjadi baik, lebih baik, buruk, atau bahkan rusak. Jadi bukan masalah banyak atau sedikit teman yang kita punya. Hati-hati dalam bergaul, mencari teman di zaman seperti sekarang. Karena tidak sedikit yang mengaku teman tapi justru menjerumuskan ke hal-hal negatif. Bahkan ada teman yang senang bila kita susah dan sedang bermasalah. Sebaliknya ada juga teman yang langsung benci dan emosi saat kita diberi kenikmatan, keberhasilan.
Tak ada teman yang sempurna, sebagaimana tidak ada manusia tanpa kesalahan dan lalai. Karena itu, pilih-pilih teman demi mendapatkan yang tanpa cela merupakan pekerjaan sia-sia. Teman, siapa pun ia, pasti memiliki cela dan itulah tugas kita sebagai sesama manusia untuk mengingatkan, bukan justru menjauhinya. Karena adalah makolah berbunyi, “Siapa mencari teman tanpa cela, maka selamanya tak akan memiliki teman.”
Berteman atau bergaul memang harus hati-hati. Bukan soal banyak sedikitnya. Tapi soal manfaatnya ada atau tidak. Ibarat kata, siapa pun yang bergaul dengan penjual minyak wangi maka akan mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan bergaul dengan pandai besi maka akan terkena percikan apinya atau mendapat bau asap yang tidak sedap (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada umumnya, seseorang akan meniru dan mengikuti sifat dan karakter dari temannya, orang-orang yang senantiasa bersamanya. Bergaul dengan orang-orang yang lalai dari kewajiban, biasanya akan menjadikan seseorang tidak mengindahkan kewajiban. Berteman dengan orang yang suka dengan perkara duniawi saja, tak pernah sedikit pun membahas ukhrowi, akan menjadikan kita berhati keras.
Jika kita memiliki teman-teman yang berperilaku buruk menyukai kebiasaan negatif, maka kita niatkan ketika bergaul dengan mereka untuk menuntun mereka ke jalan yang benar. Dan Jika kita merasa tidak mampu untuk memengaruhi mereka agar berhenti dari perilakunya maka segera kita tinggalkan mereka, karena khawatir justru kita akan terpengaruh.
Lalu bagaimana cara berteman, cara bergaul?
Dalam kitab Bidayatul Hidayah, ada tiga macam manusia dalam kehidupan aksi nyata. Yang pertama Pertama, manusia seperti makanan. Kita tidak mungkin bisa melepaskan diri dari makanan selama kita masih bernyawa. Artinya, sebagai makhluk sosial, kita tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Maka, berakhlaklah yang baik agar kita bisa mendapatkan asupan makanan yang baik melalui pergaulan kita dengan akhlak yang baik pula.
Kedua, manusia seperti obat. Kadang kita butuh saat kita sakit dan kadang kita harus menjauhi obat agar tidak over dosis. Dalam konteks ini, pastikan jangan salah memilih teman sebagaimana jangan salah mendiagnosa penyakit dan akhirnya salah minum obat. Kalau kita salah memilih teman, sama dengan salah minum obat, bukannya badan sehat yang kita rasakan, tetapi justru bisa keracunan. Begitu juga saat kita salah memilih sahabat atau teman, bukannya kemaslahatan dan kemanfaatan yang kita peroleh, tetapi justru madharat dan bahaya yang akan kita dapat.
Ketiga, manusia seperti penyakit. Maka tidak ada pilihan, jauhilah manusia model ini sebagai kawan atau teman, sebab selain merusak diri kita, akan menularkan keburukannya kepada orang lain. Sebagaimana penyakit yang akan menularkan kepada orang lain kalau kita tidak menjauhi dan mencegahnya.
Manusia yang paling baik pergaulannya?
Seorang Arab Badui (Arab Kampung) ditanya, “Siapakah orang yang paling baik pergaulannya?” Ia menjawab: “Orang yang jika dekat ia memberi, jika jauh ia memuji, jika dizalimi ia memaafkan, jika dipersempit ia melapangkan. Siapa saja yang mendapatkan teman seperti itu, maka ia benar-benar beruntung.”
Di antara alasan mengapa orang Arab zaman dulu menitipkan anaknya di perkampungan untuk disusui dan dibesarkan, seperti halnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Sayyidina Hamzah bin Abdul Muttalib, dan lain sebagainya. Karena kebanyakan orang kampung memiliki ketulusan dan keluguan yang murni. Mereka cerdas dengan caranya sendiri. Sering kali kebijaksanaan keluar dari perilaku dan ucapan mereka, dengan apa adanya, tidak dibuat-buat dan dicitrakan.
Orang Badui ketika kedatangan tamu yang menginap di rumahnya, ia akan memulyakan tamunya dengan istimewa. Disajikan untuk tamunya makan malam dengan menyembelih unta. Dan di pagi harinya, Si badui menyembelih lagi unta untuk sarapan tamunya. Ketika tamunya bertanya, “Bukankah daging unta sisa semalam masih banyak, kenapa menyembelihkan kami unta lagi?”Kemudian Badui kampung menjawab, “Aku tidak mau memberi makanan yang telah bermalam kepada tamu-tamuku.”
Dari kisah Badui, memberikan pelajaran, bahwa pergaulan, pertemanan yang baik itu berlandaskan cinta, kearifan lokal, dan ketulusan. Dan cinta akan melahirkan budaya positif yang indah dalam aksi nyata kehidupan.