Ada tiga kata kunci dalan tulisan ini, yaitu riba, bunga, dan bank. Jika kita telisik bahwa kata riba, sudah ada bahasannya dalam Alquran dan hadis. Artinya riba memang sudah ada sejak dulu di zaman nabi. Berbeda dengan kata bunga dan bank, di mana keduanya hadir setelah masa tersebut. Para ulama, baik ulama salaf maupun ulama kholaf, telah sepakat akan keharaman riba. Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah status bunga bank, bukan keharaman status dari riba. Karena status riba memang sudah jelas diharamkan.
Istilah bunga bank berbeda dengan riba. Karena hukum status dari bunga bank menurut para ulama terdapat khilafiyah (perbedaan). Ada ulama yang mengharamkan bunga bank, dan ada pula ulama yang membolehkan, meyakini bahwa bunga bank bukanlah riba.
Dalam kegiatan bank. terdapat dua macam bunga. Yang pertama ialah bunga simpanan ialah bunga yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Yang kedua ialah bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit, biaya admin dan sebagainya. Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba yang diterima oleh pihak bank.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. seperti halnya Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, bahwa mereka menganggap bunga bank itu haram dan termasuk riba. Dengan dalil Surat al-Baqarah ayat 275 (Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba) serta dalil hadis nabi, “Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Kemudian ulama kontemporer lainnya menganggap bahwa bunga bank tidak termasuk riba. Mereka yang berpendapat adalah Syekh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi. Mereka berpegangan pada Surat an-Nisa’ ayat 29: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank. Mereka juga berargumen bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut.
Dalam Munas NU tahun 1992 tentang pembahasan status bunga bank, didapati tiga hasil pendapat musyawarah. Pendapat pertama yaitu pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram. Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh. Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum bunga bank merupakan masalah perbedaan (khilafiyah). Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba.
Maka dari hal tersebut seorang muslim tinggal memilih opsi mana yang sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya. Masing-masing pendapat tersebut didukung oleh dalil-dalil kuat dari para ulama yang keilmuannya mumpuni.
Pengeluaran fatwa ulama bahwa bunga bank dan termasuk pula uang yang dikelola oleh pihak bank dihukumi haram, perlu kita hormati. Namun sebaiknya kita mempertimbangkan dampak negatif dan positifnya, karena jika kita meyakini hal ini, akan berdampak sulit jika tidak berhubungan (bermuamalah) dengan Bank. Karena ada sunah nabi Muhammad Saw yang selalu memilih yang termudah dari berbagai pilihan yang kompleks.
Karena zaman sekarang, sangatlah sulit dihindari untuk tidak berhungan dengan bank. Seperti halnya biaya haji dikelola oleh bank, gaji ditransfer melalui bank, bayar sekolah, biaya kuliah, jual beli online tidak lepas transfer via bank. Dan termasuk uang yang kita miliki, yang kita cari selama ini, itu yang mengeluarkan adalah pihak Bank.
Lalu bagaimana status orang yang meminjam uang di bank, menyimpan uang di bank, serta kredit rumah lewat bank?
Sekali lagi, jika kita memilih fatwa ulama yang tidak mengharamkan bunga bank, maka tidaklah mengapa. Karena mereka berpendapat bahwa penetapan keuntungan yang harus diberikan oleh pihak peminjam kepada pemilik harta menurut itu bukanlah riba, karena merupakan pembagian hasill usaha dan keuntungan yang sudah diawali dengan saling ridha.
Kemudian bahwa bunga dari hasil menabung di bank bukanlah riba yang haram, tetapi merupakan bagii hasil atas usaha bersama. Meski pembagian hasil itu sendiri sudah ditentukan nilainya di awal, dan hal itu sah karena sudah melewati proses saling ridha di antara kedua belah pihak. Bukan hanya yang menyimpan uangnya saja yang aman dari riba, bahkan ketika seorang meminjam uang dari bank, lalu dia bayar ‘bunga’ kepada bank, maka itu pun menurut bukan riba, melainkan bagi hasil.
Kemudian mereka juga memandang bahwa bunga bank bukanlah riba karena memberi manfaat kepada kedua-belah pihak, yaitu yang punya uang dan yang meminjam.Perlu diketahui bahwa riba adalah cenderung kepada arah zalim dan menzalimi. Sementara itu, bunga bank tidak dimaksudkan untuk zalim dan menzalimi melainkan upah kepada bank selaku penjamin dari yang diberi jaminan, yakni nasabah atau peminjam. Bunga bank ditetapkan berdasarkan prinsip akad kafalah. Dengan akad kafalah, bunga disamakan dengan istilah tarif. Besaran tarif yang sifatnya konstan (tetap) ini membedakannya dengan pengertian riba yang bersifat berlipat ganda.
Maka meminjam ke bank disebabkan hajat memiliki sebuah rumah karena tingginya biaya membangun sebuah rumah adalah diperbolehkan. Karena berdasarkan prinsip maslahah mursalah, yang mana salah satunya adalah mensyaratkan peruntukannya untuk memenuhi kebutuhan primer (maslahah dlaruriyah) dan memenuhi hajat masyarakat banyak/berupa perumahan (maslahah hajiyah) serta menuju kualitas hidup yang lebih baik (maslahah ta